Para Pemain di Lingkaran Dagang Satwa Ilegal

Ahmad Gozali, 67, warga Desa Tano Bato, Panyabungan Selatan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), mulai berburu sejak masih remaja, kira-kira ketika dia berusia 15 tahun.

“Kalau dulu biasanya tidak sendirian, pergi ke hutan bersama pemburu lainnya, tak pulang kalau belum dapat buruan,” katanya ketika saya temui di rumahnya, Maret 2023.

Senapan dan anjing-anjing terlatih adalah senjata berburunya ke hutan.

Pengalamannya berburu tidak lepas dari incaran hewan buas. Suatu kali pada tahun 1985 ketika pergi berburu rusa, dia bertatap muka dengan jarak dekat dengan seekor harimau. Dia kira harimau itu akan memangsanya, namun berlalu pergi begitu saja.

Warga desa tidak memburu harimau karena mereka menganggapnya hewan sakral.

“Kalau di kampung ini dipanggil ‘Ompui’, menyebut namanya saja orang tidak sembarangan, jadi itu jarang diburu,” katanya. Nyawanya juga pernah terancam oleh babi hutan yang menyerangnya.

Gozali dan pemburu lainnya lebih sering berburu rusa, kijang, dan babi, tapi kadang kala menemukan trenggiling di dekat perkampungan.

“Kalau trenggiling itu jarang diburu, biasanya datang sendiri dan ditangkap masyarakat dan dijual,” katanya. Berbeda dengan rusa yang dagingnya bisa dijual dan tanduknya jadi incaran kolektor.

Trenggiling kerap muncul begitu saja di pinggir hutan dekat pemukiman lalu ditangkap, lalu ada yang mau membelinya. Belakangan hewan itu menjadi incaran ketika semakin sering diperjualbelikan.

“Ketika saya mendapatkannya, orang-orang di desa ini datang minta biar mereka jual, katanya mereka tahu ke siapa menjualnya, sesudah mereka jual, saya kasih upah jual mereka,” kata Gozali.

Warga desa menjualnya dalam keadaan hidup, dan harganya ditentukan berdasarkan beratnya. Sayangnya, mereka tidak pernah menanyakan kepada pengepul kenapa satwa itu dibeli, untuk apa, bagian tubuh mananya yang dijual atau informasi lainnya.

Gozali mengaku empat kali mendapatkan trenggiling dan menyuruh orang di desa untuk menjualnya. Pertama kali, dia sudah lupa tahun berapa persisnya. “Kira-kira tahun 90an,” katanya. Seingatnya ketika itu dia sedang mencari rumput makanan kambing di saat hujan lebat dan menemukannya sedang menaiki pohon pisang. Beratnya sekitar 2 kilogram.

Kedua kali, masih di tahun yang berdekatan, ketika anjingnya menggonggong sesuatu, dan ternyata trenggiling sekitar 1,5 kilogram. Ketiga kalinya dia mendapatkannya di belakangan rumahnya, tapi ketika dia menaruhnya di goni di rumah, trenggiling itu hilang.

“Goninya sudah bolong, kucari-cari dapat di kolong rumah, kuambil lagi,” katanya.

Keempat kalinya dia temukan di pinggir jalan pada malam hari, dia menemukan benda berkilat dengan senternya dan ternyata trenggiling, saat dia dekati hewan itu bergulung, beratnya sekitar 2,5 kilogram. Saat itu katanya, hewan trenggiling semakin sering dicari.

Gozali tidak tahu saat itu bahwa hewan itu dilindungi, dia hanya terikut orang-orang di desa yang semakin sering menangkap dan menjualnya.

“Saya tidak tahu, kita ikuti aja orang-orang,” katanya.

Bunuh hingga lima trenggiling untuk dapatkan 1 kg sisiknya

Abdul Hafiz, 48, juga warga Desa Tano Bato, Madina dulunya juga sering menangkap trenggiling untuk dijual. Dia bercerita, suatu hari, pada tahun 2018, saat sedang minum kopi di warung di dekat rumahnya, dia melihat sesosok hewan yang bergerak di tepi jalan. Dia memperjelas pandangannya dan ternyata itu adalah trenggiling. Dia langsung menangkapnya dan memasukkannya ke dalam goni. Setelah ditimbang beratnya 2,5 kilogram.

Tapi, karena sudah malam Hafiz tidak mendapatkan pembelinya saat itu. Besok paginya, ketika kembali ke warung itu, beberapa orang warga desa menawarkan diri untuk menjualnya. Hafiz ingin ikut menjualnya tapi tidak diizinkan.

“Kata mereka pembeli tidak mau beli kalau bukan dari orang yang sudah dia percaya,” katanya.

Hafiz pun menyerahkan trenggiling itu untuk mereka jual. Tak lama kemudian mereka kembali dan membawa sejumlah uang penjualan hewan itu. “Inilah (uangnya) untuk abang, bagian kami sudah kami ambil,” katanya.

Sebulan kemudian, pada malam hari ketika belanja di warung di dekat rumah, dia kembali menemukan trenggiling di dekat sepeda motornya, namun tidak sempat dijualnya karena keburu lari saat dia menyimpannya di rumahnya selama empat hari.

Tapi, tak lama kemudian seorang penjaga kebunnya mendapatkan seekor trenggiling. Mereka ingin menjualnya juga. “Tapi, menjualnya pun ternyata tidak mudah,” katanya. Sebab, pembeli tidak mau membeli dari orang yang tidak dikenalnya.

Akhirnya dia menghubungi orang yang pernah menjual trenggilingnya sebelumnya, lalu pembeli mau membayarnya. “Uangnya habis kami gunakan untuk makan di rumah makan,” katanya menyebut sebuah rumah makan terkenal di Madina.

Saat menjualnya, menurut Hafiz, dia tahu bahwa pembeli hanya ingin menjual dagingnya dan mengambil sisiknya, namun tidak pernah tahu pasarannya.

Belakangan dia tahu beberapa orang ditangkap karena menjual trenggiling, dan sejak itu dia melihat warga desa mulai jarang menangkap dan menjual trenggiling.

Tapi bagi Hafiz, dorongan untuk menjual satwa itu kembali hanya tergantung satu kondisi.

“Tergantung kondisi keuangan. Kalau sudah tiga hari pusing mikirkan uang, kita juallah, kadang kan ekonomi ini yang memaksa,” katanya ketika ditanya apakah masih ingin menjual hewan itu.

Untuk mengetahui berapa banyak trenggiling yang dibunuh untuk mendapatkan sisiknya sepanjang tahun 2017 – 2022 di wilayah Aceh dan Sumatera Utara, saya mengumpulkan datanya dengan cara mengumpulkan sejumlah berita yang terbit sepanjang lima tahun itu.

Saya menggunakan Google news dan menyesuaikan dateline (garis tanggal) berita dan mengetik kata kunci ‘trenggiling’ di fitur pencarian. Dengan cara itu, saya membaca satu persatu berita, dan mengambil data dari pemberitaan resmi. Data itu semuanya berdasarkan keterangan resmi, kebanyakan dari kepolisian saat melakukan penangkapan.

Dari data yang saya rangkum sebanyak 3.156 ekor trenggiling yang dibunuh dari total 3.915 ekor dan 28 jenis satwa yang diperdagangkan. Angka itu didapat dari perkiraan untuk 1 kilogram sisik trenggiling, pemburu akan membunuh 3 – 5 ekor trenggiling.

Selain trenggiling, satwa liar lain yang paling banyak diperdagangkan adalah belangkas, paruh rangkong gading, buaya muara, nuri, harimau Sumatera, kijang, kakaktua raja dan orang utan Sumatera.

***

Trenggiling merupakan satu di antara satwa dilindungi yang menjadi incaran para pemburu untuk diperdagangkan.

Pada awal Agustus 2024 Kepolisian Daerah Sumatera Utara menangkap dua pelaku perdagangan satwa ilegal dan menyita 987,22 kilogram sisik trenggiling yang disimpan di sebuah rumah di Kecamatan Datuk Bandar, Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Sisik trenggiling tersebut disimpan dalam 18 karung yang diperkirakan berasal dari sekitar 3.000 ekor trenggiling yang dikumpulkan dari sindikat perdagangan satwa dilindungi di Sumatera Utara.

Kedua pelaku yang ditangkap tersebut bernama Arif Hidayat alias Dedek yang merupakan pemilik sekaligus pengepul sisik trenggiling. Pelaku lainnya adalah Rahmad alias Ane yang merupakan seorang pencari pembeli (calo) sisik trenggiling yang menawarkannya kepada Hidayat melalui media sosial.

“Pelaku memburu trenggiling dengan cara memasang perangkap di hutan, kemudian mengulitinya, mengambil sisik trenggiling dan mengumpulkannya untuk dijual,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi kepada wartawan di Medan, Kamis, 8 Agustus 2024.

Di Indonesia, larangan perdagangan sisik trenggiling diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 40 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.

Perdagangan sisik trenggiling ini mengancam kepunahan trenggiling. Berdasarkan data yang dihimpun dari pemberitaan media sepanjang 2017-2022, sebanyak 3.156 ekor trenggiling telah dibunuh untuk diambil sisiknya.

Sumut merupakan salah satu daerah penangkapan sisik trenggiling sebelum diperdagangkan ke sejumlah negara, seperti Vietnam, Malaysia, dan Tiongkok. Menurut WWF, Tiongkok merupakan negara dengan permintaan sisik trenggiling asal Indonesia tertinggi, yakni 100.000-135.000 kilogram per tahun. Sisik trenggiling dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan Tiongkok.

Populasi trenggiling kini terancam punah menurut Daftar Merah Spesies Terancam Punah dari International Union for Conservation of Nature. Kepunahan trenggiling dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di hutan, yang mana fungsinya adalah untuk mengurangi populasi semut dan serangga yang berpotensi merusak tanaman dan pepohonan.

Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan trenggiling adalah dengan menghentikan perdagangannya. “Caranya dengan menangkap para pedagang besar,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Species Conservation Program Rudianto Sembiring, seperti dikutip Kompas.

Bagaimana perdagangan satwa dilindungi dilakukan?

Seorang mantan penjual satwa dilindungi yang  tidak bersedia identitasnya disebutkan, bercerita, perdagangan satwa liar biasanya terdiri dari mata rantai yang saling terkait, yaitu pemburu, pengepul dan penjual.

Menurut ‘pemain satwa’ yang mengaku namanya cukup dikenal di lingkaran gelap perdagangan satwa liar itu, para pemain di lingkaran penyelundupan satwa terdiri dari penjual yang memiliki jalinan dengan pengepul di daerah, dan pengepul di daerah itu yang terkoneksi dengan pemburu.

Di tingkat bawah atau akar rumput, pengepul juga terkoneksi dengan masyarakat yang mendapatkan satwa tanpa sengaja, seperti Ahmad Gozali dan Abdul Hafiz. Hubungan mereka hanya sebatas jual beli. Tapi, kebanyakan tidak punya ikatan.

Di tingkat penjual ada yang langsung terkoneksi dengan pemburu, yang tiap kali pemburu dapat barang, dia akan mengutamakan penjual itu, lalu dia akan menjualnya melalui lingkarannya. Lalu di lingkaran penjual, ada lagi sejumlah penjual yang sifatnya hanya mencari keuntungan, yang tidak terkoneksi langsung dengan pemburu.

“Mereka-mereka ini biasanya ikut membantu menjual di akunnya masing-masing, tapi barangnya dari penjual yang punya koneksi ke pemburu tadi,” katanya.

Para penjual, reseller maupun dropshipper ini bermain di laman-laman online, seperti Facebook dan grup-grup WhatsApp. Di Facebook mereka memasarkan satwa itu di grup-grup yang mengaku sebagai pecinta hewan, dengan menggunakan akun palsu yang sulit dilacak, kadangkala menggunakan kode untuk satwa tertentu, atau sekadar mengunggah foto dan video dengan narasi seolah-olah tidak menjual.

Para pemainnya kini semakin hati-hati menjual satwa appendix, yaitu satwa yang masuk kategori dilindungi dan terancam punah, seperti harimau Sumatera, trenggiling, orangutan, setelah beberapa pemainnya ditangkap. Grup WA juga kini rentan disusupi orang yang mengaku pemain yang kadang menjadi informan untuk aparat.

“Sekarang kalau untuk hewan appendix mainnya di grup-grup WhatsApp yang anggotanya lebih terbatas,” katanya.

“Untuk masuk di grup itu harus melalui rekomendasi anggota yang sudah bergabung di grup,” katanya. Menurutnya, sekarang ini masih banyak pemain yang aktif menjual hewan-hewan dilindungi, yang bermain di grup-grup rahasia.

Dia tidak lagi menjual satwa appendix sejak suatu kali seorang yang mengaku ‘petugas pengawasan perdagangan satwa’, menghubunginya setelah melihatnya suatu kali mengupload hewan dilindungi di Facebook.

Dia curiga petugas itu hanya ingin memerasnya karena melakukan interogasi tanpa adanya surat perintah dan enggan menunjukkan identitasnya. “Saat kutanya petugas dari mana dan minta sebutkan identitasnya, dia tidak mau,” katanya.

Oknum itu tidak pernah menghubunginya lagi. Tetapi sejak saat itu dia mulai khawatir bahwa dia telah menjadi target aparat, dan sejak saat itu tak lagi ‘main’ hewan appendix.

***

Berdasarkan data dari pemberitaan, kasus perdagangan satwa selama lima tahun terakhir (2017 – 2022) di wilayah Aceh dan Sumut, sedikitnya ada 81 kasus perdagangan satwa, dan sebanyak 124 pelakunya yang ditangkap.

Dari semua kasus itu, tercatat pula bahwa rata-rata hukuman bagi pelaku 1 – 3 tahun penjara. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, maksimal hukuman terhadap pelaku kejahatan satwa dilindungi maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta.

Salah satu kasus dengan hukuman lumayan maksimal adalah kasus perdagangan kulit harimau di Gampong Kapeh, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan, Aceh, yang memvonis dua terdakwa Sarkawi Bin Warigo (41), Sabaruddin Bin M Yusak (45), selama 48 bulan penjara, 23 Juli 2018.

Berdasarkan data GAKKUM Sumatera, jumlah kasus perdagangan satwa sepanjang tahun 2015 – 2022 di tiga seksi wilayah Sumatera yang mencapai tahap P21 berjumlah 145 kasus. Sebanyak 62 kasus di wilayah I (Sumut dan Aceh). Kasus perdagangan burung berada di urutan pertama (41 kasus), disusul kasus perdagangan harimau (21 kasus), dan trenggiling berada di urutan ketiga (16 kasus).

“Pada tahun 2022 kasus trenggiling yang paling banyak, ada empat kasus,” kata Haluanto Ginting, Koordinator Teknis Balai GAKKUM wilayah Sumatera ketika wawancara dengan saya di kantornya, Maret 2023.

Pada tahun 2022 ada tiga kasus yang diproses GAKKUM hingga P.21. Kasus yang sempat menjadi sorotan adalah kasus kepemilikan orangutan di rumah mantan Bupati Langkat, Terbit rencana Perangin-angin. Berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P21) pada Oktober 2022.

Menurut Haluanto, GAKKUM hanya mampu memproses kasus hingga tingkat penyidikan, berkasnya lengkap untuk dilimpahkan ke pengadilan (P.21). Proses hukum selanjutnya di tingkat persidangan, yang selanjutnya pada tuntutan jaksa dan vonis hakim.

“Mengenai vonis itu proses selanjutnya di persidangan,” katanya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu Yos Arnold Tarigan, sepanjang tahun 2022 ada lima kasus perdagangan satwa yang memasuki tahap persidangan. Dua di antaranya kasus perdagangan 15 kilogram sisik kulit trenggiling dengan terdakwa Jospando Silaban dan Darwin Purba, dan perdagangan satu individu orangutan dengan terdakwa Thomas Di Raider.

Thomas Masih Bermain 

Bercermin dari kasus Thomas de Raider yang ditangkap polisi bersama empat temannya saat hendak menjual satu bayi orangutan di Komplek Perumahan Cemara Asri, Deli Serdang, Sumatera Utara, 28 Februari 2022. Setelah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, 17 Oktober 2022, dia divonis bersalah dan dihukum selama satu tahun, yang dianggap tidak akan memberikan efek jera bagi pemberantasan kejahatan terhadap satwa yang terjadi selama ini.

Thomas sudah tak asing di lingkaran perdagangan satwa.

Dalam sebuah wawancara kepada media, Thomas de Raider pernah mengakui bahwa dia sudah ‘bertobat’, tidak lagi menjual satwa-satwa dilindungi, terutama orangutan yang dia katakan hewan yang dia jual lebih dari sekali.

“Saya tidak lagi main satwa dilindungi maupun appendix, paling kalau ada cuma musang,” katanya dalam sebuah wawancara kepada VICE.

Dia juga mengungkapkan rasa iba dan penyesalannya telah menjual satwa yang terancam punah itu. “Terkadang saya kasihan melihat anak orangutan itu lepas dari induknya,” katanya.

Seorang mantan penjual yang pernah ditangkap dan divonis penjara, Ali*—bukan nama sebenarnya—mengaku mengenal Thomas di lingkaran perdagangan satwa yang dia ikuti.

Kata Ali, nama Thomas memang tidak asing di lingkaran perdagangan satwa liar. Dia terbilang licin karena dia diketahui punya backing keras.

“Setelah saya ditangkap dan ditahan, dari seorang penyidik [di kepolisian] saya tahu bahwa dia punya backup kuat,” kata Ali saat ditemui di rumahnya yang berada di sebuah desa di Kabupaten Simalungun.

“Itu makanya dia berani main orangutan dan ‘bahan-bahan keras’ (istilah untuk hewan appendix dan dilindungi), dia termasuk pemain yang dianggap ‘berani’ jual hewan-hewan appendix,” katanya.

Ali juga curiga bahwa Thomas mau membocorkan aktivitas penjual yang tidak mau berkolaborasi dengannya.

Suatu kali Ali mendapatkan ‘bahan keras’ (istilah untuk satwa dilindungi), yang kemudian ditawar Thomas, namun Ali menolaknya. Dia menjualnya ke seller lain. Ali merasa curiga sejak saat itu ada yang memantau gerak-geriknya, hingga akhirnya dia ditangkap aparat.

“Seorang penyidik bertanya kepada saya setelah ditangkap, ‘Kau kenal Thomas? Kau jangan main sama dia, dia orangnya licin, punya backing kuat,’” ujar Ali.

Dia menduga bocornya aktivitasnya sebelum ditangkap tidak lepas dari informan yang juga pemain di lingkaran penjual satwa liar, salah satunya adalah Thomas.

“Saya yakin dia ikut menjebak saya,” katanya.

Backing di belakangnya juga tidak mengherankan ketika dia hanya divonis 12 bulan penjara, yang dinilai terlalu ringan bila mempertimbangkan satwa yang diperjualbelikannya, satwa dilindungi dan terancam punah.

“Mungkin karena dia punya beking kuat bisa aja lebih ringan,” kata Ali.

Ali tertangkap pada 2021 bersama ‘barang keras’—nama hewan sengaja tidak diungkap untuk tidak memicu orang memperdagangkannya—yang akan dikirimnya kepada pembelinya di luar provinsi.

Dia curiga seorang informan telah membocorkan gerak-geriknya. Dugaan dia informan yang membocorkan gerak-gerik dan identitasnya adalah orang yang juga pemain di lingkaran perdagangan satwa yang bermain dengan polisi.

Dia mencurigai Thomas.

Ali sendiri divonis setahun lebih, lebih tinggi dari vonis Thomas yang menjual orangutan, satwa dilindungi yang terancam punah. Dia pernah ditawarkan untuk memberikan uang agar hukumannya diringankan, tapi dia menolak. Dia lebih memilih menjalani hukuman karena tidak punya backing, seperti Thomas.

Selain backing kuat, kenapa pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi sulit jera?

Vonis Tak Buat Jera

Bobi Handoko dari Sumatra Eco Project, lembaga non-profit yang fokus memantau kejahatan terhadap satwa di Sumut dan Aceh, mengatakan, vonis yang tidak maksimal dianggap belum mampu memberi efek jera sehingga membuat kejahatan terhadap satwa terus terjadi. Tetapi, kurangnya keseriusan dalam penindakan dan penegakan hukum juga merupakan faktor lain.

“Meminimalisir wildlife crimes harus dengan kesadaran dan ketegasan yang berkelanjutan. Meningkatkan vonis saya kira juga sangat penting. Namun yang paling menjadi masalah adalah kurangnya keseriusan dalam penegakkan hukum,” katanya.

“Contohnya, kalau jumlah satwanya kecil atau sedikit dan spesiesnya kurang menarik, pasti akan cenderung diabaikan,” katanya.

Laporan investigasi ini ditulis oleh Tonggo Simangunsong, pertama kali terbit di INJI Warrior

Back To Top