Hutafiles.org. Senin, 10 November 2025, ribuan orang kembali berunjuk rasa menuntut pemerintah agar menghentikan operasional PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Kali ini massa aksi menggelar unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut) di Jalan Diponegoro, No. 30, Medan.
Hutafiles.org mengurai aksi itu melalui 17 pertanyaan yang kami serap dari sejumlah suara publik dan menjawabnya berdasarkan hasil liputan yang kami lakukan di lapangan.
Siapa yang berunjuk rasa pada aksi Tutup TPL?
Aksi massa terhimpun dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis di Sumatera Utara, yang terdiri dari kelompok masyarakat adat dan petani dari wilayah Tapanuli Raya–kawasan Danau Toba hingga Tapanuli Utara dan sekitarnya–termasuk dari wilayah Tapanuli Selatan, sejumlah pendeta dari Gereja HKBP, HKI dan rohaniwan Katolik.
Massa aksi juga berasal dari kelompok petani dari Dairi, masyarakat dari wilayah Medan dan sekitarnya, mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas HKBP Nommensen, Universitas St. Thomas Medan, organisasi mahasiswa seperti GMKI, GMNI, PMKRI, HMI Unimed, AMPK, APARA dan sejumlah elemen masyarakat Batak, budayawan, aktivitas lingkungan, aktivis hukum dan HAM, dan perorangan yang tidak terkait dengan organisasi apa pun.
Apa tuntutan mereka?
Mereka menuntut pemerintah agar menutup atau mencabut izin perusahaan PT TPL
PT TPL itu perusahaan apa?
PT TPL adalah perusahaan pulp yang merupakan bahan baku serat rayon (viscose) untuk tekstil dan kertas. Mulai beroperasi di Tanah Batak pada tahun 1983, PT TPL yang terafiliasi dengan Asia Pacific Resources International Holdings (APRIL) dan Riau Andalan Pulp and Paper di Riau; keduanya di bawah holding Royal Golden Eagle, milik pengusaha Sukanto Tanoto.
Pada awalnya PT TPL mengantongi izin konsesi seluas lebih dari 269.060 hektare, namun kemudian menyusut menjadi 167.912 hektar di kawasan hutan tanaman industri kawasan sekitar Danau Toba, meliputi Kabupaten Toba, Simalungun, Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Pakpak Bharat. Penyusutan luas konsesi itu terjadi karena konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat. Salah satu masyarakat adat yang berhasil mengembalikan tanah adatnya dari konsesi PT TPL adalah masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Selain mengelola perkebunan kayu ekaliptus yang merupakan bahan baku pulp dan kertas, PT TPL juga memiliki pabrik pengolahan (mills) pulp di Porsea, Kabupaten Toba.
Kenapa mereka menuntut PT TPL harus ditutup?
Massa menilai sejak PT TPL mulai beroperasi pada tahun 1980-an–waktu itu masih bernama PT Inti Indorayon Utama–perusahaan itu telah mengakibatkan dampak buruk, antara lain kerusakan lingkungan dan konflik lahan dengan masyarakat adat.
Kenapa aksi unjuk rasa terjadi lagi?
Aksi unjuk rasa menutup PT TPL kali ini terulang kembali pasca insiden yang terjadi di wilayah adat Sihaporas pada 22 September 2025.
Masyarakat adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun adalah satu dari 23 komunitas masyarakat adat yang berkonflik (lahan) dengan PT TPL sejak tahun 1990-an.
Pada 22 September 2025 sekelompok orang yang memaksa masuk ke wilayah adat Sihaporas yang kemudian memicu aksi penolakan dari masyarakat dan berujung pada aksi kekerasan. Sejumlah warga, termasuk orangtua dan disabilitas mengalami pemukulan. Sejumlah kendaraan dan rumah warga juga dibakar.
Insiden itu memicu empati dari sejumlah elemen, termasuk gereja HKBP, dan rohaniwan Katolik. Ephorus HKBP Victor Tinambunan, dalam berbagai kesempatan, termasuk melalui akun media sosialnya, menyerukan penutupan PT. TPL. Alasannya, selain telah memicu konflik sosial, agraria, perusahaan kertas dan serat rayon itu juga telah memicu kerusakan lingkungan di sekitar kawasan Danau Toba.
Meski demikian, masyarakat Sihaporas tidak berhenti mendapatkan teror dan intimidasi. Mereka tidak lagi dapat bekerja untuk mencari nafkah ke ladang karena gerak-gerik mereka selalu diawasi, bahkan akses jalan mereka digali menjadi lubang yang dalam. Pemblokiran aksi itu menggugah empati dari sejumlah elemen masyarakat, termasuk sejumlah rohaniwan Katolik yang langsung turun ke lokasi untuk menutup kembali lubang yang adalah akses warga desa.
Di mana massa aksi berunjuk rasa?
Massa aksi terlebih dahulu berkumpul di Lapangan Merdeka pada pagi hari sekitar sejak pukul 08.00 WIB. Dari sana mereka menggelar long march ke kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro, No. 30 Medan.
Kenapa unjuk rasa dilakukan di kantor Gubernur?
Karena lokasi itu adalah kantor Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution dan berharap massa dapat bertemu dia di sana.
Mengapa massa mendemo Gubernur?
Massa kecewa dengan pernyataan Bobby di media yang menyatakan bahwa TPL memiliki alas hak mengelola kawasan hutan, jangan dihalangi. Pernyataannya itu, menurut massa–seperti disebutkan pimpinan aksi–telah menyakiti masyarakat, terutama yang selama ini berkonflik dengan perusahaan itu.
Massa aksi berharap seorang Gubernur seharusnya berpihak pada masyarakat, bukan pro kepada PT TPL.
Apakah Bobby Nasution merespons aksi massa saat itu?
Tidak. Karena pada saat itu dia sedang tidak berada di Medan, melainkan di istana negara untuk mengikuti acara kenegaraan, yaitu pemberian gelar pahlawan kepada sejumlah tokoh, termasuk salah satunya dari Simalungun.
Adakah pihak dari pemerintah yang merespons aksi massa?
Wakil Gubernur Sumatera Utara, Surya, mewakili Bobby untuk memberikan klarifikasi dan mengatakan bahwa, Bobby tidak dapat menemui aksi massa karena di saat bersamaan harus menghadiri acara kenegaraan yang juga dihadiri presiden Prabowo Subianto.
Apakah massa menerima respon Wagub?
Tidak. Massa berkali-kali meminta agar Bobby Nasution langsung yang menemui mereka, tidak diwakilkan oleh siapa pun. Massa mengatakan bahwa aksi unjuk rasa yang mereka lakukan tidak dadakan, namun sudah diberitahu sebelumnya–dengan mendapatkan izin dari kepolisian, sehingga sudah diketahui oleh Bobby.
“Bobby lebih memilih pergi ke Jakarta daripada menemui rakyatnya!,”ucap orator pimpinan aksi.
Apakah Bobby, selaku Gubernur, bisa menutup TPL?
Tidak, sebab yang memberikan izin konsesi PT. TPL seluas 167.912 hektar adalah Kementerian Kehutanan. Tetapi sebagai kepala daerah, Gubernur dapat merekomendasikan aspirasi masyarakat untuk mengevaluasi, merevisi atau mencabut izin konsesi kepada PT. TPL.
Apakah ada pihak aparat pengamanan yang mengawasi jalannya unjuk rasa?
Ya. Kapolrestabes Medan, Kombes Pol Jean Calvijn Simanjuntak memimpin satuan pengamanan dalam aksi unjuk rasa itu.
Diperkirakan ada seribu personil Brimob dan sejumlah orang berpakaian preman yang diduga adalah intel yang mengawasi dan memantau aksi unjuk rasa dengan menyiagakan sejumlah unit taktis.
Jumlah personil itu diperkirakan saat semuanya berbaris dan bersiap siaga di halaman kantor Gubernur untuk kembali ke markas. Selain personil Brimob, juga ada beberapa personil TNI.
Apakah terjadi aksi anarkis dalam aksi unjuk rasa itu?
Tidak. Pada siang hari massa aksi sempat memanas ketika mendapatkan rumor bahwa kendaraan massa aksi yang diparkirkan di sekitar kawasan Lapangan Merdeka, di Jalan Ahmad Yani, telah dipindahkan–ada yang menyebut oleh pihak Dinas Perhubungan, ada juga yang mengatakan pihak kepolisian.
Namun, polisi kepada massa mengatakan akan menjamin semua kendaraan massa aksi di Lapangan Merdeka dalam keadaan aman, dan menjamin tidak satupun dipindahkan.
Setelah mendapatkan jaminan dari polisi, massa aksi kembali melanjutkan aksi unjuk rasa. Pimpinan aksi juga berkali-kali menyerukan pesan agar hati-hati dengan kehadiran intel yang mencoba memprovokasi dan menyulut suasana menjadi chaos.
Pada sore hari, massa aksi juga nyaris terprovokasi karena kecewa setelah tidak mendapatkan respon langsung dari Gubernur. Mereka mendorong pagar besi kantor Gubernur, namun aksi yang sempat memanas itu berhasil diredam oleh kalangan rohaniwan, bahwa aksi itu adalah aksi damai.
Meski nyaris terprovokasi oleh sikap Wagubsu yang tidak memberikan jawaban memuaskan, massa menggelar atraksi kebudayaan dengan menampilkan tarian Tortor diiringi musik Batak–taganing dan sarune–yang mendorong orang-orang untuk ikut menari (manortor) bersama.
Benarkah jaringan komunikasi terputus saat aksi massa berlangsung?
Benar. Jaringan internet–khususnya provider Telkomsel–di lokasi aksi massa sangat buruk, bahkan tidak ada jaringan atau putus, sehingga massa aksi tidak dapat melakukan live di media sosial, mengunggah video atau menggunakan aplikasi perpesanan WhatsApp.
Bagaimana aksi unjuk rasa itu berakhir?
Setelah massa menggelar aksi tarian Tortor, pada sore hari Pj. Sekda Provinsi Sumatera Utara, Sulaiman Harahap, menemui aksi massa dan membacakan hasil negosiasi antara perwakilan massa aksi dengan pihak pemerintah Provinsi Sumut.
Sulaiman mengatakan bahwa dalam waktu dekat Gubernur Sumatera Utara akan menemui masyarakat adat Sihaporas, namun tidak dijelaskan secara detail kapan kunjungan itu akan dilakukan.
Bagaimana reaksi massa aksi terhadap hasil negosiasi itu?
Mereka menunjukkan sikap apatis bahwa Gubernur akan menepati janjinya. Namun, pimpinan aksi dan rohaniwan kembali meredam kekecewaan massa aksi sembari berharap janji itu akan ditepati. Sebagian menganggap negosiasi itu tidak ada artinya, dan menyerukan bahwa yang mereka tuntut hanya satu, yaitu PT. TPL harus ditutup.
Laporan ini disusun oleh tim redaksi Hutafiles.org berdasarkan pemantauan di lapangan sepanjang berjalannya aksi. Kami juga menautkan link referensi berita untuk mendukung akurasi bahwa informasi dan data yang kami sajikan dalam laporan ini terkonfirmasi.
Hutafiles.org menggunakan aplikasi Maps Checking untuk menghitung dan memperkirakan jumlah massa aksi dan personil Brimob yang berada di lokasi Jalan Diponegoro, Medan dan area halaman kantor Gubernur.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.